Jangka Pendek Capital Outflow Sulit Dihindari : Sinyal Waspada Pemulihan Ekonomi AS
Perlahan tapi pasti, ekonomi Amerika Serikat mulai menunjukkan pemulihan. Ini terlihat dari data-data ekonomi teranyar yang dirilis negeri Paman Sam ini.
Akhir pekan lalu, pemerintah AS mengumumkan angka penyerapan tenaga kerja di sektor swasta non pertanian di Februari mencapai 379.000. Realisasi tersebut jauh lebih baik ketimbang konsensus para ekonom.
Para ekonom memprediksi angka non farm payroll cuma naik menjadi 197.000. Sebelumnya, di Januari, non farm payroll mencapai 166.000.
Selain itu, pemerintah AS juga mempercepat proses vaksinasi Covid-19. Pemerintah AS juga masih getol menyiapkan paket stimulus senilai US$ 1,9 triliun.
Tak heran, banyak pihak yakin ekonomi AS bakal segera pulih. Bahkan, survei bulanan Bloomberg terbaru memprediksi, pertumbuhan ekonomi AS secara tahunan pada kuartal I-2021 akan berada di level 4,8%. Proyeksi tersebut dua kali lebih tinggi dari jajak pendapat ekonom yang digelar dua bulan lalu.
Pelaku pasar kini menanti angka inflasi AS, yang akan diumumkan pekan ini. Konsensus proyeksi ekonom memperkirakan inflasi akan mencapai 0,4% secara bulanan. Bulan sebelumnya, inflasi bulanan AS sebesar 0,3%.
Ekspektasi pemulihan ini akan berpengaruh ke pasar keuangan dalam negeri. Asal tahu saja, ekspektasi kenaikan inflasi AS sudah memicu kenaikan yeild US Treasury belakangan ini. Yield US Treasury bahkan sempat menyentuh level tertingginya 1,56%.
Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS ini memicu dana asing hengkang dari pasar keuangan Indonesia (capital outflow). Di Maret ini, dana asing yang keluar dari Indonesia sudah mencapai US$ 24,4 juta. Di pasar obligasi, dana yang keluar bahkan mencapai US$ 544,6 juta di periode yang sama.
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail menilai, yield US Treasury masih akan terus naik, demi menarik investor global yang menempatkan dananya di luar pasar AS. Tak ayal, ini akan memicu investor asing melakukan aksi jual pada instrumen Indonesia dan pindah ke pasar AS.
Hal ini pada akhirnya turut melemahkan rupiah. Ini sudah terlihat dari pergerakan rupiah yang terus melemah dan menyentuh Rp 14.300 per dollar AS pada Jumat (5/3). "Pelemahan rupiah ini bisa saja berlanjut menuju level Rp 14.400 per dolar AS, imbuh Ahmad kepada KONTAN, Minggu (7/3).
Pemerintah kemungkinan hanya akan menjaga volatilitas agar tidak terjadi overshoot. Ahmad mengatakan, bukan tak mungkin, hingga akhir tahun rupiah bergerak ke arah Rp 15.000 lagi.
Head of Fixed Income Sucorinvest Asset Management Dimas Yusuf juga mengatakan, kenaikan yield US Treasury turut mendorong kenaikan yield SUN acuan tenor 10 tahun. Alhasil, spread SBN dengan US Treasury semakin tipis. Apalagi BI menurunkan suku bunga acuan bulan lalu.
Dimas menilai, capital outflow dari pasar keuangan dalam negeri tak bisa dihindari. Ia memprediksi, dalam jangka pendek, volatilitas di pasar keuangan akan tinggi.
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana memprediksi, IHSG akan cenderung terkoreksi dengan support 6.200 dan resistance 6.320. Jika support ini berhasil ditembus, maka ada peluang IHSG bisa menuju 6.180.
Dalam jangka panjang, pasar keuangan Indonesia masih menarik. Ini dengan asumsi pemulihan ekonomi juga terjadi di dalam negeri.
Dimas menyebut, yield SUN seri acuan tenor 10 tahun pada akhir tahun masih berpeluang untuk turun ke 6,1%-6,2%. Saat ini. yield SUN rupiah acuan masih di 6,63%.
Di pasar saham, Herditya menyarankan investor trading jangka pendek di saham-saham batubara dan CPO, memanfaatkan pergerakan harga komoditas. Untuk jangka lebih panjang, investor bisa mencermati saham barang konsumsi yang defensif.
Posting Komentar